Tuesday, March 30, 2010

Jalan Keluar Yang Pengecut. Akankah Militer Indonesia (TNI) Secara Diam-diam Mengakui Kesalahannya?

The Straits Times, surat kabar setengah resmi Singapura, melaporkan
dari Jakarta:

“Laporan jurnalis Allan Nairn [re. pembunuhan oleh TNI] telah
menghancurkan harapan Jakarta agar Amerika Serikat mencabut
larangan yang telah berlangsung 12 tahun bagi pelatihan pasukan
khusus, Kopassus … Sebuah delegasi militer Indonesia telah berkunjung
ke Washington pada awal bulan ini untuk melobi pencabutan larangan
tersebut dan media-media di Indonesia melaporkan bahwa memang
ada tanda-tanda bahwa AS akan mencabut larangan tersebut. Namun,
temuan dari Nairn bisa mengkandaskan harapan tersebut . (Salim
Osman, "Report May Hit Bid to Lift US Military Ban," The Straits
Times, Friday, March 26, 2010).

Militer Indonesia (TNI) telah bereaksi dengan ancaman akan menahan
saya, dan saya sudah menyambut baik ancaman mereka itu serta menantang
mereka untuk maju terus jika mereka memang percaya akan apa yang selama
ini terus menerus mereka sangkal.

Jika TNI memang sungguh-sungguh tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan ini -- sebagaimana juga ratusan ribu pembunuhan lainnya -- mereka boleh menyeret saya ke pengadilan terbuka, dimana kita bisa mendiskusikan fakta secara publik, bila perlu selama berbulan-bulan. Ini jauh lebih baikketimbang mengambil penyelesaian secara pengecut dan diam-diam mengakui kesalahan sambil kemudian membekap, menangkap, atau memanggil saya untuk diinterogasi tertutup dan/atau mendeportasi


Friday, March 26, 2010

Tantangan Kepada Angkatan Bersenjata Indonesia dan kepada Pemerintah AS. Pernyataan Allan Nairn Sebagai tanggapan Atas Ancaman Penahanan oleh TNI

News & Comment (www.allannairn.com)
Selasa, 23 Maret, 2010

Sebagai balasan terhadap laporan saya yang mengungkap keterlibatan TNI
dalam pembunuhan para aktivis politik (lihat posting 21 Maret 2010),
Angkatan Bersenjata RI yang didukung oleh AS telah mengancam akan
menahan saya, atas dasar tindakan criminal pencemaran nama baik (lihat
Markus Junianto Sihaloho & Nurdin Hasan , Jakarta Globe, "Indonesian
Military Threatens Legal Action Over Aceh Party Killings Claims.")

Saya menyambut baik ancaman TNI ini. TNI adalah sebuah kekuatan yang
telah membunuh ratusan ribu jiwa, karenanya saya menantang mereka
untuk menahan saya dan dengan demikian kita bisa berhadapan secara
langsung di ruang pengadilan terbuka.

Saya akan senang bila berdiri di hadapan pengadilan yang dihadiri
public Indonesia, dan saya akan memberikan keterangan secara mendetail
tentang berbagai peranan TNI dalam berbagai penyiksaan, penghilangan
paksa, pembunuhan massal, serta pembunuhan terencana.

Saya menyambul baik kesempatan untuk masuk kedalam proses hukum yang formal, dan terbuka, dimana ada pula kesempatan untuk melemparkan pertanyaan kepada Jendral-jendral TNI yang harus bersaksi dibawah sumpah.

Jika diberikan kesempatan seperti itu, saya juga akan berusaha
menghadirkan personil-personil Amerika Serikat, dan bertanya kepada
militer AS, CIA, Departemen Luar Negeri, dan pejabat-pejabat Gedung
Putih tentang dukungan mereka kepada TNI. Saya akan bertanya kepada
orang-orang Amerika ini mengapa mereka memberikan senjata, pelatihan, dan dana kepada TNI, bahkan ketika mereka telah menyaksikan bahwa kekuatan ini telah berulang kali membunuh rakyat sipil.

Kekuasaan peradilan di Indonesia telah terkenal dengan ketakutannya
kepada TNI. Mereka tidak pernah memenuhi tanggungjawab untuk
melindungi masyarakat dengan menerapkan hukuman atas pembunuhan secara tidak memihak.

Akan tetapi, jika mereka ingin menahan saya ketimbang menahan
perwira-perwira TNI, tidak ada masalah untuk saya.

Ini akan memberikan kesempatan kepada kita untuk mendiskusikan secara
public kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia -- dan juga pemerintah AS.


Link to view original English language version of this posting.

Thursday, March 25, 2010

Militer Indonesia Menuduh Saya Berbuat Kriminal Karena Melaporkan Pembunuhan, Menurut Teks Yang Mengalir Di Stasiun TV One

News & Comment (www.allannairn.com)
Kamis, 25 Maret 2010

Militer Indonesia Menuduh Saya Berbuat Kriminal Karena Melaporkan
Pembunuhan, Menurut Teks Yang Mengalir Di Stasiun TV One

Stasiun televisi berita Indonesia, TV One, memuat sebuah teks yang
mengalir dilayar mereka yang mengatakan bahwa TNI, tentara yang
didukung oleh pemerintah AS, sedang berupaya untuk atau sudah
melaporkan bahwa saya telah melakukan tindakan pidana kriminal.

Kejahatannya adalah, demikian kata teks di TV tersebut, “mencemarkan
nama baik TNI.”

Untuk situasi Indonesia saat ini, melaporkan adanya suatu pembunuhan
bisa diartikan sebagai tindakan kriminal. Sementara itu, karena tidak
ada satu pun Jendral Indonesia yang dipenjara karena melakukan
pembunuhan, maka tindakan membunuh itu sendiri dianggap BUKAN suatu
tindakan kriminal.

TNI, Kopassus, Terlibat Dalam Pembunuhan Baru. Angkatan Bersenjata Yng Dipilih Obama Dlm Pemberian Bantuan AS Tel Melakukan Pembunuhan Aktivis 2009

Oleh Allan Nairn

[News and Comment (www.allannairn.com), Sunday, March 21, 2010 (5:58 pm, US Eastern)]

Menurut beberapa pejabat Indonesia, kepolisian, dan catatan pemerintah, TNI yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekarang sedang menunggu pencairan kembali bantuan AS, telah membunuh sejumlah aktivis sipil pada tahun 2009.

Pembunuhan-pembunuhan tersebut adalah bagian dari program rahasia pemerintah, didukung oleh Jakarta, dan dikoordinasikan sebagian oleh seorang Jendral Kopassus yang pernah dilatih AS. Ia telah mengakui dalam rekaman bahwa anak buahnya di TNI memang memegang peranan dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut.

Berita ini datang ketika Presiden AS Barack Obama tengah mempersiapkan pengumuman yang akan merubah kebijakan lama pemerintah AS -- yang diterapkan oleh Konggres karena tekanan dari akar rumput -- tentang pembatasan kategori-kategori bantuan AS terhadap TNI. TNI adalah sebuah kekuatan yang pada saat-saat menerima pelatihan dari AS, telah pula membunuh ratusan ribu rakyat sipil.

Adanya berita tentang pembunuhan baru ini akan menjadi masalah bagi Obama karena alasan untuk membuka kembali bantuan itu adalah bahwa TNI tidak lagi membunuh rakyat sipil. Menlu Hillary Clinton mengatakan kepada Konggres bahwa masalahnya adalah apakah ada pembunuhan yang baru, namun, pada kenyataannya pembunuhan tersebut tidak berhenti: TNI tetap melakukan pembunuhan politik.

Seorang pejabat Indonesia yang kerapkali bertemu dengan para petinggi TNI dan dengan Presiden Indonesia mengatakan bahwa pembunuhan tersebut didukung dan disahkan oleh ‘petinggi-petinggi di Jakarta.’ Ia memberikan penilaian yang mendetail tentang beberapa aspek dari program ini, termasuk nama korban, metode, dan nama-nama mereka yang melakukannya.

Keterangan mendetail yang dikutip dalam laporan ini juga dibenarkan oleh pejabat-pejabat lainnya, termasuk beberapa pejabat senior POLRI. Sebagian juga diakui oleh seorang Jendral Kopassus yang membantu jalannya pembunuhan ini.

Seorang pejabat senior mau berbicara karena dia tidak setuju dengan pembunuhan ini. Ia menolak disebut namanya karena kuatir akan posisi jabatannya serta keselamatan pribadinya.

Keterangan mendetail yang telah diketahui sejauh ini menyangkut serangkaian pembunuhan dan pengeboman di Aceh -- terletak di bagian Barat Indonesia -- dimana telah dilakukan pemilihan lokal dengan Partai Aceh (PA) sebagai peserta. Partai Aceh adalah sebuah partai politik yang merupakan penerus dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Paling tidak ada delapan aktivis PA dibunuh menjelang pemilihan umum pada Aplri lalu. Pembunuhan=pembunuhan tersebut, menurut pejabat-pejabat yang mengetahuinya, bertujuan untuk menimbulkan kebingungan di kalangan para pendukung PA dan menekan partai tersebut untuk tidak membicarakan isu kemerdekaan. Ini adalah sebuah sikap yang didukung oleh Presiden Jendral Susilo Bambang Yudhoyono, tidak saja di Aceh melainkan juga diseluruh Indonesia.

Seorang aktivis, Tumijan, umur 35, buruh perkebunan sawit di Nagan Raya, diculik dan mayatnya ditemukan dua hari kemudian di sebuah kali. Lehernya digorok, tubuhnya dicincang, dan terikat oleh kabel listrik. Mayatnya muncul dekat pos TNI. Beberapa keluarganya menuduh aparat keamanan sebagai pelakunya, dan karenanya mereka menerima ancaman pembunuhan dari orang-orang yang tidak dikenal.

Seorang aktivis PA yang lain, Dedi Novandi, umur 33, yang juga dikenal sebagai Abu Karim, sedang duduk di dalam mobil diluar rumahnya ketika kaca mobil dibuka paksa oleh seorang berpakain sipil yang mengeluarkan pistol dan menembakkan dua peluru ke kepalannya.

Seorang pejabat POLRI yang tahu secara mendetail tentang pembunuhan tersebut menyebutnya sebagai pembunuhan professional, yang memakai orang-orang yang telah terlebih dahulu mengawasi gerak-gerik Abu Karim.

Beberapa jam sebelumnya, Karim menerima seorang anggota delegasi dari sebuah organisasi yang disponsori oleh Bank Dunia dimana ia menyatakan keprihatinannya terhadap pembunuhan yang terkait dengan pemilihan serta pembakaran dan serangan granat terhadap kantor-kantor PA.

Tidak lama setelah pembunuhan, BBC datang ke tempat kejadian perkara. Koresponden BBC, Lucy Williamson dengan mengutip seorang tetangga Karim mengatakan, “adalah aneh bahwa polisi tidak bisa menemukan orang yang membunuh [Abu Karim]. ‘Mungkin karena tidak ada saksi,” ujarnya. “Dan saya pikir, sebetulnya aneh juga kalau tidak ada saksi tapi apa yang bisa saya katakan? Setiap orang mengatakan bahwa mereka tidak ada menyaksikan apapun.”

“Di dalam rumah,” lanjut Williamson, “Istri Abu Karim, Cut Dede, dengan gugup memandang putra mereka yang berumur empat tahun. Seperti banyak orang disini ia tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa ini adalah pembunuhan politik.”

Nyatanya, menurut seorang pejabat senior dan beberapa orang lain yang mengkonfirmasinya, pembunuhan terhadap Tumijan dan Abu Karim adalah bagian dari pembunuhan terencana yang dilakukan oleh TNI, yang dikoordinasikan oleh Pangdam Aceh di tingkat propinsi. Pada saat itu Pangdam Aceh dijabat oleh Jendral Sunarko.

Sunarko dikirim ke Aceh oleh Presiden Jendral Susilo, setelah menjadi Komandan Kopassus. Sebelumnya Sunarko adalah Kepala Staff Kostrad, sebuah lembaga komando cadangan strategis Angkatan Darat yang beroperasi di seluruh kepulauan Indonesia dan bermarkas di Jakarta, didekat istana kepresidenan.

Sunarko diangkat ke dalam posisi kunci ini setelah menangani milisi di daerah pendudukan Timor Timur. Ia menjadi komandan intelijen Kopassus disana pada saat operasi terror TNI di tahun 1999, sebuah operasi yang mencakup pembakaran dan pembunuhan massal pada orang-orang Timor Leste bersiap-siap -- dan pada akhirnya menang -- untuk mengikuti jajak pendapat untuk menentukan kemerdekaan.

Pembunuhan terhadap aktivis PA tahun 2009 terjadi di seluruh Aceh. Pembunuhan terhadap Abu Karim di Bieruen, diakui oleh seorang pejabat pemerintah, diatur oleh Jendral Sunarko dan dilaksanakan oleh Letkol R. Suharto, komandan lokal TNI, dengan memakai perwira dan prajurit TNI dan dibantu oleh kalangan milisi sipil yang pernah didukung oleh TNI seperti milisi FORKAB dan PETA.

Letkol R.Suharto telah lama bekerja pada BAIS, lembaga intelijen strategis TNI yang memainkan peranan integral dalam pembunuhan terencana di seluruh Indonesia dan terkenal karena pembunuhan dan penyiksaan di daerah pendudukan Timor Timur dan, pada saat ini, di daerah pendudukan de facto Papua Barat.

Ketika saya tanyakan kepada pejabat POLRI tentang Letkol Suharto dan pembunuhan Abu Karim, mereka menjadi sangat gugup seperti halnya para tetangga yang dikutip dalam laporan BBC.

Mereka segan membicarakan peran yang dilakukannya, kecuali secara pribadi. Kami kemudian memulai rekaman dan saya bertanya apakah Letkol Suharto yang sesungguhnya menjalankan operasi pembunuhan terhadap Abu karim dan beberapa pembunuhan lainnya? Saya juga bertanya lebih jauh apakah Letkol Suharto adalah salah satu dari orang yang melakukan ‘operasi-operasi gelap’ yang pada saaat itu masih berjalan? Pejabat POLRI itu tidak menyangkal apapun dan hanya mengatakan, “Saya tidak bisa memberikan komentar tentang hal itu” dan bersikeras agar namanya tidak dikaitkan pada pernyataan tersebut.

Pada hari Jumat, sekitar jam 10:30 malam, saya menelpon Letkol Suharto di telpon genggamnya.

Tidak ada jawaban dan karena itu saya mengirim SMS, yang dijawabnya dengan pertanyaan siapa yang mengirim SMS ini. Saya menyatakan diri saya dan kami mulai percakapan lewat SMS yang baru berakhir setelah tengah malam. Di tengah-tengah SMS tersebut saya berusaha menelponnya lima kali, namun setiap kali ia hanya membiarkan telponnya bordering.

Lewat SMS, Letkol Suharto bertanya saya ada dimana dan kemudian bagaimana saya mendapat nomor telponnya. Ia juga bertanya mengapa saya ingin bicara dengan dia. Saya membalas saya ingin mendiskusikan soal pembunuhan terhadap aktivis PA, termasuk Abu Karim. Suharto menulis balik dan mengatakan bahwa itu urusan polisi. Saya tanyakan apakah TNI yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Letkol Suharto menjawab tidak, lalu saya bertanya lagi lewat text,”Apakah ini berarti Anda tahu siapa pembunuhnya?” Ia menjawab tidak untuk pertanyaan itu juga, lalu kemudian saya melanjutkan,”Jadi, agaimana Anda tahu kalau TNI tidak terlibat?”

Pada saat itu, Letkol Suharto memutuskan sambungan telpon. Saya berusaha menelpon tapi hanya mendengar rekaman suara perusahan telpon. Saya kemudian mengirim SMS lagi dan bertanya apakah dia, Letkol Suharto, “terlibat dalam pembunuhan Abu Karim, atau pembunuhan para aktivis PA lainnya.” Sinyal dari perusahan telpon mengindikasikan bahwa pesan SMS itu diterima dengan baik, namun hingga saat ini, 51 jam kemudian, Letkol Suharto tidak menjawab.

Beberapa anggota milisi juga mengatakan bahwa orang-orang Letkol Suharto-lah yang membakar dan melempar granat ke kantor-kantor PA.

Namun agaknya ini hanyalah bagian kecil dari operasi gelap tersebut.

Di Nagan Raya, di bagian lain dari Aceh, penculikan dan pembunuhan Tumijan dilakukan oleh Tim TNI yang lain, yang juga bekerja dibawah Jendral Sunarko. Ini menurut beberapa pejabat, termasuk dari POLRI, dan sebagian, menurut Jendral Sunarko sendiri.

Dalam kasus pembunuhan Tumijan, barang bukti yang ada tidak hanya pernyataan-pernyataan dari kalangan dalam pemerintahan sendiri, tetapi juga rangkaian kejadian yang teramat rumit termasuk penahanan sejumlah pelaku yang merupakan bawahan dari Jendral Sunarko.

Pejabat senior Indonesia yang pertama kali bicara tentang program pembunuhan ini mengatakan bahwa Tumijan diambil dan dihabisi oleh sekelompok prajurit muda Kopassus dan beberapa serdadu lain yang, sebagaimana dalam kasus Abu Karim, juga menggunakan orang-orang sipil dari milisi yang pernah diciptakan oleh TNI.

Ia memberikan beberapa nama seperti, kalangan tentara yang terlibat Kapten Wahyu dan Oktavianus, dan sementara kalangan sipil dalam milisi ada nama seperti Muhyari, Supardi, Kadir, Herwan, M. Yasin, Suprayogi, Tahmid, dan Suparno.

Ia kemudian membuat klaim yang mengejutkan yakni sekalipun tidak ada orang luar yang tahu, orang-orang lapisan paling bawah yang terlibat telah ditahan secara rahasia selama beberapa bulan sebagai bagian dari deal politik rahasia antara POLRI, TNI dan pejabat-pejabat yang secara tidak sengaja mengetahui beberapa aspek dari program pembunuhan TNI yang sampai saat ini masih merupakan rahasia itu.

POLRI, demikian katanya, setuju untuk menahan anggota-anggota milisi, polisi militer mengambil dua tentara, dan pejabat yang tahu akan operasi tersebut setuju untuk tidak membicarakannya secara public, dan pihak POLRI pun tidak pernah mengumumkan adanya penahanan tersebut atau berusaha secara hukum memproses anggota milisi tersebut

Lebih penting lagi, hanya mereka yang menjadi pelaksana langsung yang ditahan karena satu kasus pembunuhan. Para perwira yang lebih senior dibiarkan tidak tersentuh dan melanjutkan operasi.

Perwira kepolisian yang berbicara kepada saya membenarkan keterangan pejabat senior ini. Namun mereka melakukan ini dengan rasa segan luar biasa, bahkan ketakutan. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak mau mengejar ‘para petinggi yang ada di Jakarta,” atau Jendral Sunarko -- atau bakan Letkol Suharto yang hanya merupakan komandan lokal.

POLRI juga membunuh dan menyiksa penduduk sipil, dan terlibat dalam operasi bersama polisi, tetapi mereka juga bersaing secara institusional, berebut lahan, uang, dan kekuasaan. Sekalipun POLRI tampaknya lebih berkuasa akhir-akhir ini, TNI masih memiliki lebih banyak senjata dan uang. Mereka juga tidak memiliki beban seperti POLRI karena POLRI harus menerapkan hukum atas pembunuhan.

Pada hari Kamis, saya menghubungi Komandan POLRI Aceh, Jendral Pol. Aditya, di telpon genggamnya. Sekalipun pada awalnya dia berkata bahwa dia hanya akan bicara secara pribadi, berhadapan muka, dan kemudian berusaha menghentikan pembicaraan, ia mengakui -- untuk pertama kalinya secara public -- bahwa para pelaku pembunuhan Tumijan telah ditahan.

Ketika saya tanyakan padanya apakah benar bahwa Jendral Sunarko yang merancang pembunuhan terhdap aktivis-aktivis tersebut, Jendral Aditya mengatakan, “Saya tidak dalam kapasitas untuk mengemukakan informasi itu” dan secara tiba-tiba memutuskan sambungan telpon.

Pada hari Jumat, saya menghubungi Jendral Sunarko pada telpon genggamnya dan menanyakan padanya tentang pembunuhan dan Sunarko mengakui bahwa bawahannya di TNI memiliki peranan dalam pembunuhan tersebut.

Tetapi ia mengatakan bahwa pembunuhan oleh perwira dan prajurit TNI tidak sepenuhnya bisa digolongkan pada tindakan resmi TNI “sebagai sebuah institusi.” Jendral Sunarko luar biasa tenang.

Meskipun belum sepenuhnya menjadi pengetahuan umum, ia tahu tentang penahanan bawahannya dalam kasus pembunuhan Tumijan (Jendral Sunarko mengangkat masalah ini sebelum saya menanyakannya), ia mengindikasikan bahwa ia tidak takut akan langkah-langkah berikutnya dari POLRI atau dari kekuasaan lainnya.

Jendral Sunarko tampaknya sangat akrab dengan pembunuhan Tumijan, dan mengatakan bahwa Kapten Wahyu dan Oktavianus, dua perwira yang ditahan, sebelumnya bahkan bekerja di Markas Besar Kodam Iskandar Muda.

Ketika saya tanyakan secara khusus jika dia, Jendral Sunarko, terlibat dalam beberapa pembunuhan itu, ia menjawab dengan enteng,”Itu mesti pekerjaan orang gila,” katanya,”dan saya belum gila.”

Ketika saya tanyakan padanya tentang bawahannya Letkol Suharto, ia mengatakan bahwa dia kenal baik, tapi ketika saya tanyakan kepadanya apakah Letkol Suharto yang melakukan pembunuhan terhadap Abu Karim, Jendral Sunarko menjawab, “Saya tidak tahu,” namun kemudian dia menambahkan: “Jika itu terjadi, saya pasti tahu.”

Sebelum saya sampai kepada masalah pembunuhan-pembunuhan, Jendral Sunarko juga mengatakan bahwa dia adalah pendukung yang antusias dari rencana Presiden Obama untuk meningkatkan bantuan kepada Kopassus dan kepada TNI pada umumnya.

Sunarko mengatakan bahwa AS dan TNI telah lama memiliki hubungan yang sangat dekat yang telah “meingkatkan kapasitas TNI,” dan pemulihan bantuan oleh Obama akan membuat ‘persahabatan yang makin akrab.”

Jendral ini juga mengatakan bahwa dia sendiri adalah kawan dan pengagum tentara AS, setelah menerima berbagai macam latihan dari AS di berbagai tempat di Amerika “banyak kali” sejak tahun 1980.

Dengan memakai nama-nama bahasa Inggris dari beberapa kursus tersebut dan unit-unit tentara AS yang memberikannya, ia mengatakan bahwa instruktur dari tentara Angkatan Darat AS dalam Mobile Training Teams (MTTs), Pusat Komando AS di Pasifik (PACOM, di Hawaii), telah metaihnya dalam “Jungle Warfare” dan “Logistics” sebagaiman juga subyek latihan lain yang tidak ia sebutkan. Ia mengatakan bahwa pelatihannya dengan Amerika meliputi pelatihan khusus pada tahun 1994 dan 1998, dan kawan-kawannya satu pelatihan berasal dari Kopassus dan Kostrad. Jendrla Sunarko mengatakan bahwa latihan terakhirnya dengan AS adalah pada 2006, ketika dia menjadi Kastaf Konstrad, sebelum menjadi komandan Kopassus.

Jendral ini juga menyatakan bahwa pelatihan itu baik untuk Amerika juga karena memungkinkan TNI dan militer AS untuk “saling belajar satu sama lain” dan membuat AS untuk “mendapatkan apa yang dibutuhkannya” dari TNI.

Presiden Obama harusnya berangkat ke Indonesia hari ini, namun kunjungannya telah ditunda. Yang masih dikaji adalah sebuah paket bantuan besar untuk TNI, yang akan dirundingkan dalam beberapa bulan ke depan, sebuah titik berat politik yang akan memperbaharui bantuan terbuka untuk Kopassus.

Sekalipun setiap unit TNI (dan juga POLRI) telah dinyatakan terlibat dalam pembunuhan massal, mereka yang ada di dalam Kopassus adalah yang paling dipuji, dan seperti yang pernah dikemukakan oleh bekas komandan mereka, Jendral Prabowo yang lulusan AS itu, Kopassus adalah yang secara historis paling dekat dengan Washington. Oleh karena itu wajar bila hal yang paling menjengkelkan buat TNI adalah ketika para aktivis AS -- termasuk saya -- berhasil menekan Konggress untuk memutuskan bantuan AS kepada Kopassus di 1990s.

Obama berencana memberikan bantuan itu kembali kepada Kopassus dan sekarang itu merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu oleh TNI sebagai pembenaran, dan untuk mereka yang selamat dari terror TNI, pembukaan kembali bantuan militer bisa diartikan sebagai lampu hijau bagi TNI untuk melakukan lebih banyak terror.

Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan pembunuhan-pembunuhan lain yang dilakukan oleh TNI, program pembunuhan terencana yang dilaporkan dalam artikel ini melibatkan berbagai macam komponen TNI diluar Kopassus: selain Kopassus juga melibat intelijen BAIS dan jaringan komando regional, lokal seperti KODAM, KOREM, KODIM, dan semuanya jajaran ini member laporan kepada komandan TNI di tingkat nasional dan “para petinggi di Jakarta” lainnya.

Dan tidak peduli apaka AS akan memberikan kembali bantuan kepada Kopassus, TNI secara keseluruhan telah mendapatkan lampu hijau.

2.800 personil TNI pada saat ini dilaporkan sedang dilatih di AS (ini menurut laporan Departemen Pertahanan Indonesia; lihat Olivia Rondonuwu dan Ed Davies, “Interview -- Indonesia Seees U.S. Lifting Military Training Ban”, Reuters, March 4, 20101) dan Pentagon di bawah Obama mendorong penjualan senjata dan peralatan militer serta pemberian pinjaman yang secara keseluruhan akan memperkuat kembali TNI.

Namun, Kopassus tentulah merasa diri paling penting dan memiliki potensi simbolik.

Dalam perundingan pemberian bantuan antara Obama dan TNI baru-baru ini, Komandan Jendral Kopassus datang ke Washington dan disambut oleh Tim Obama. Di Indonesia, selama pembicaraan berlangsung, seorang anggota Kopassus dengan rasa sangat percaya diri berusaha naik pesawat komersial dari Aceh sambil membawa sepucuk pistol dengan peredam suara -- senjata pembunuh yang klasik. Ini menarik perhatian seorang pejabat Indonesia yang menceritakan kejadian itu, karena satu korban di Aceh tampaknya telah dieksekusi dengan mempergunakan pistol berperedam suara, pembunuhan dilakukan malam hari (teman sekamar korban tidak terbangun).

Seorang keamanan Airport yang terkait dengan Angkatan Udara menyita pistol orang Kopassus tersebut.

Namun kemudian, serombongan Kopassus mendatanginya dan memaksanya mengembalikan pistol itu.

NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below.

NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages.

NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below.

Email Me